Kamis, 10 Januari 2013





Apakah bila semakin cerdas orang akan bisa mengenali dan mengakui keberadaan Tuhan? Atau sebaliknya semakin bodoh maka orang semakin tidak mampu mengenali bayangan jejak-jejak Tuhan? Kami tergelitik untuk menanyakan hal ini karena jaman kita diliputi oleh semangat memaksimalkan peranan kecerdasan otak, tidak hanya di lingkungan lembaga pendidikan formal tetapi juga sampai di sel terkecil hubungan sosial manusia yaitu keluarga.


Tidak bisa dipungkiri, dunia pendidikan saat ini harus merespon tuntutan global untuk bersaing di era pasar bebas. Yaitu sebuah era yang ditandai dengan semakin majunya teknologi karena kreativitas dan inovasi untuk meraih keunggulan finansial dan ekonomi. Dunia pendidikan yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi global dipastikan akan gulung tikar dan tidak lagi diminati oleh masyarakat.


Mereka yang tidak kreatif dan inovatif akan juga dilibas jaman. Mereka akan tersingkir dari bursa-bursa lowongan kerja dan kemudian tidak mampu berbuat banyak untuk mengubah keadaan. Kemiskinan itu sangat tidak nyaman sehingga wajar dan manusiawi bila orang berlomba-lomba untuk mendapatkan kerja yang paling ideal dan paling banyak menghasilkan uang.


Bursa-bursa kerja akan terus terbuka bagi mereka yang kreatif, profesional, memiliki dedikasi dan integritas yang tinggi. Apalagi ditunjang dengan pendidikan yang tinggi, bagus dan terkenal. Lihatlah iklan lorongan pekerjaan di media massa. Rata-rata mensyaratkan agar pelamarnya berasal dari perguruan tinggi yang terkenal (ada jaminan otaknya encer?), usia muda, berpenampilan menarik dan sukur-sukur berwajah cantik.


Begitulah, kecerdasan otak menjadi hal yang wajib untuk dipenuhi oleh jaman nanoteknologi saat ini. Dan dalam psikologi, kecerdasan otak memiliki standar yaitu Intelligent Quotient (IQ). Rumus IQ adalah IQ = MA/CA x 100%. MA adalah Usia Mental dan CA adalah usia kronologis. Semakin tinggi Usia Mental dibanding dengan Usia Kronologis maka IQ orang tersebut akan tinggi dan semakin cerdaslah orang tersebut.


Banyak dijumpai saat ini anak jenius, yaitu anak yang usia mentalnya melebihi usia kronologis anak sebayanya, gaya bicara dan berpikirnya seperti orang tua, bahkan banyak yang sudah hapal Kitab Suci. Tapi banyak pula lahir anak idiot, yaitu anak yang usia mentalnya tertinggal dibanding usia kronologis teman-teman sebaya mereka.


Boleh dikatakan abad 21 adalah abad dimana otak telah dijadikan pusat orientasi. Dengan Otak yang encer maka semua solusi hidup bisa dipecahkan, namun sebaliknya dengan otak yang bebal maka solusi menjauh, justeru yang datang adalah masalah demi masalah. Untuk mencapai kebahagiaan dan kepuasan hidup maka tidak ada cara lai selain harus mengasah ketajaman otak setajam-tajamnya.


Kita tidak menyangkal titik orientasi jaman yang sudah berubah ini.


Sejarah membuktikan orientasi manusia telah bergeser dari alam semesta (kosmosentrisme), dari Tuhan (teosentrisme), dari manusia (antroposentrisme), untuk memasuki wahana bahasa (logosentrisme) yang merupakan permainan artikulasi dan representasi dari isi otak dan pikiran manusia. Logosentrisme memiliki ciri utama yaitu reperesentasi, hanya wakil dari realitas. Bukan realitas itu sendiri sehingga yang terjadi adalah realitas maya/jadi-jadian dan dibuat lebih (hiper).

Otak memiliki kecenderungan untuk memilah, memilih, membedakan satu dengan yang lain, mengkanalisasi setiap hal dalam kategori-kategori. Ini adalah kegiatan menganalisa. Otak juga memiliki kemampuan yang hebat untuk mensintesakan, menyimpulkan dari kegiatan menganalisa tersebut. Itulah kedahsyatan otak yang terus menerus diasah di bangku-bangku lembaga pendidikan modern dan tradisional, di pondok-pondok pesantren, perguruan-perguruan, padepokan-padepokan dan seterusnya.

Pertanyaannya sekarang apakah kepintaran selalu simultan/seiring/senyampang dengan perkembangan ruhani untuk mencari hakekat dan jati diri individual untuk kemudian akan bisa mendapatkan jawaban-jawaban tentang soal-soal Ketuhanan, Kemanusiaan, Keadilan, Kebebasan, Keadilan dan nilai-nilai lain, dan seterusnya dan seterusnya. Bila sudah mendapatkan jawaban apakah mereka akan semakin bijaksana dalam berperilaku dan berbuat?

Jawaban sementara yang merupakan hipotesis saya sbb: TIDAK ADA JAMINAN. Banyak orang pintar yang kreatif dan inovatif mengolah hidupnya, menguasai banyak materi untuk memenuhi keinginan hidup (bukan kebutuhan hidup) ternyata miskin dan tidak cerdas secara spiritual. Kemandirian dan otonomi manusia bebas manusia untuk menyimpulkan SANGKAN PARANING DUMADI ternyata tersingkir/tercampakkan untuk memenuhi hasrat manusia akan materi yang dianggapnya sumber kebahagiaan. Manusia seperti ini akan limbung dan berjalan tanpa arah serta tujuan hidup yang lurus. Ia tidak mampu mengenali jejak-jejak kehadiran Tuhan baik yang ada dalam dirinya sendiri (Mikrokosmos) dan juga yang ada di alam semesta (Makrokosmos)

Mari kita amati. Kebetulan, sehari-hari saya bekerja melayani masyarakat dari berbagai kalangan. Mulai yang hanya lulus SD, hingga tamat perguruan tinggi strata dua. Jenis dan jenjang status sosial serta pangkat dan derajat yang beragam pula. Apakah mereka yang berpangkat, memiliki jabatan dan pendidikan tinggi ternyata memiliki jiwa kemanusiaan yang lebih tinggi daripada mereka yang hanya lulus SD? Tidak bukan. Selanjutnya, tidak ada jaminan pula yang satu akan lebih tinggi tahapan pencapaian spiritualitasnya.


Adalah sangat tidak adil bila Tuhan ternyata mengistimewakan yang satu dan bersikap pilih kasih. Bila Tuhan Maha Adil, maka dia akan menciptakan manusia menjadi individu-individu sesuai dengan kapasitasnya dan mengadili sesuai dengan kapasitasnya pula. Misalnya Tuhan menciptakan individu bernama D dan dilahirkan ke dalam keluarga mampu. Sementara di lain tempat dia menciptakan individu bernama S dalam keluarga yang tidak mampu. Nasib selanjutnya kedua individu ini tentusaja sangat tergantung pada batas-batas tertentu meskipun Sumber daya Manusia-nya sudah diolah secara maksimal. Nah, apa dan bagaimana si individu tersebut berhasil untuk menemukan jalan hidup yang sesuai dengan yang digariskan oleh-Nya, terserah kepada individu itu sendiri. Ini tentu sebuah persaingan fair berebut tiket menuju keabadian.

Mengolah hidup tidak hanya dengan memakai akal, pikiran, rasio, otak kiri saja namun juga perasaan, budi, otak kanan untuk mempertimbangkan benar salah. Keduanya perlu dipertajam. Otak kiri dengan cara menganalisa, otak kanan dengan cara merasa, meyakini, mempercayai. Bila keduanya sudah diolah sedemikian hingga tercapai batas maksimal kecerdasan, maka dia pasti akan menemukan apa yang dicari. Berat sebelah menggunakan dua belah otak akan mengakibatkan stress, tertekan, dan bahkan bisa jadi sakit mental.

Adalah sebuah pesan yang perlu dipertimbangkan bahwa bila pikiran kita sedang suntuk maka istirahatkan dengan rekreasi dan refreshing. Bila hati kita sedang gundah dan putus asa maka segarkanlah dengan cara merasakan kedamaian Tuhan. Berkomunikasi intensif sekaligus meminta pertolongan kepada Sang Pemberi Hidayah. Mengenai bagaimana cara yang terbaik untuk berkomunikasi? Terserah Anda.

Wong alus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

facebook